Dalam siklus dua kali purnama, aku larut dalam draft naskah yang betul-betul menyita pikiran. Draft yang begitu menuntut diperhatikan hingga menyita hampir seluruh isi benakku. Draft itu pula yang membuatku memutuskan kembali menjadi aku, dan bukan lagi saya.
Dan seperti semua cerita perantauan, perjalanan pulang itu selalu mengejutkan. Begitu juga perjalanan pulang 'aku' setelah lama bersembunyi dalam bayang-bayang 'saya'. Menyusuri kembali pilihan jalan kata yang sudah penuh gerumbul semak belukar. Pagar diksi yang berkarat dan usang berderit-derit, dan begitu berat untuk dibuka lagi.
Lebih dari enam ratus hari sebelumnya, dunia hippocrasy yang semu membuat 'saya' hadir. Saya, kata sederhana dengan hanya empat huruf, tapi mengubah banyak hal. Saya hidup dalam lingkaran dunia kata yang lebih formal, selalu memimpikan untuk menjadi yang terbaik, yang hidup seperti para politisi, selalu penuh basa basi. Dan menindas 'aku' yang lebih bebas, lebih pribadi, lebih suka apa adanya, tapi bukan yang menyenangkan. Egois, berlimpah amarah, mudah terluka, dan menyukai kesunyian.
***
Saya, dan Aku, keduanya hidup di dunia yang sama, tapi berdiri saling tarik menarik. Berusaha membawa siapapun diantara keduanya, untuk masuk dan melangkah ke jalan salah satunya. Tapi Saya yang menang. Dan dia melangkah menghadapi dunia.
Dan sekarang, dua purnama berakhir. Dua purnama di penghujung lebih dari enam ratus hari. Saya bertatapan dengan Aku. Tersenyum lelah. Apapun yang dilakukannya, Saya tahu bahwa dia tak pernah ada. Meskipun ia mencurahkan beratus-ratus harinya untuk ada, realita pahit yang tak bisa dihapusnya, Aku adalah pemilik dunia mereka.
Saya dan Aku bertatapan. Mereka berpaling pelan melihat pagar berkarat yang tinggi menjulang. Saya tersenyum, ia paham. Perlahan ia meraih saku jasnya, menarik keluar kunci tua yang berat dan besar, lalu menyerahkan pada sosok di depannya, yang mengenakan denim usang dan kemeja flanel tua dengan lengan tergulung.
Angin berhembus pelan, memupus butir-butir eksistensi Saya. Menerbangnya berputar ke udara, serupa kabut berpendar lemah, lalu hilang di ujung tikungan.
Aku menatap kunci di tangannya. Lalu membuka gembok besar berukir yang menyegel gerbang itu. Hanya beberapa ratus hari, namun seakan selamanya. Aku menatap jalan di hadapannya. Tersusun dari hamparan bata merah kecoklatan, yang kian menggelap dibalut usia. Gerumbul semak meluap dari bantaran jalan hingga menggenangi jalan. Pepohonan menjulang dengan tumbuhan menjalar bergantungan menjuntai dari ranting yang rapat.
Aku tersenyum. Akhirnya ia kembali, pulang.
Buntul Gelengang, 30 Maret 2016
Post a Comment